Rabu, 19 Oktober 2011

Pahlawan - Pahlawan Kecil Penuntun Indonesia Bebas Korupsi


            Seorang wakil lurah sangat ingin menjadi seorang lurah. Sedangkan seorang wakil Bupati, sangat ingin menjadi seorang Bupati, dan bahkan seorang wakil Gubernur sekalipun, sangat mendambakan ingin menjadi seorang Gubernur. Tapi apakah seorang wakil rakyat, mau untuk turun dan berbaur dengan rakyatnya? Sebuah persoalan lama yang sampai saat ini masih menghantui jiwa-jiwa busuk & kotor dari seorang wakil rakyat.”


            Kembali negara kita dihadapkan dengan sebuah cobaan. Walaupun kita sudah 6 kali berganti Presiden, dari Soekarno, Soeharto, Habibi, Gus Dur, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudhoyono, tak pelak menahkodahi Indonesia menuju tempat yang
terang benderang seperti yang dirasakan oleh negera-negara merdeka lainnya. Entah ada apa dengan negeri yang elok nan indah ini. Permasalahan multidimensional yang kemudian terus mencuat kepermukaan adalah pada setiap jiwa yang rapuh dari seorang pemimpin di Indonesia.  
Susah memang jika kita rasakan harus memimpin sebuah Negara yang bernama “Indonesia” ini, karena memimpin Indonesia akan sama halnya dengan memimpin dunia. Karena hanya di Indonesia-lah sebuah heterogenitas bisa kita temukan. Mulai dari berbagai macam suku, ras, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan agama bisa kita temukan dan tidak mungkin kita dapat menemukannya ditempat lain. Jika kita memimpin Indonesia maka sama halnya dengan kita sedang memimpin dunia ini, karena pada dasarnya tidak ada satupun Negara dibumi ini yang memiliki sebuah heterogenitas seperti yang dimiliki oleh Indonesia. Berbagai macam perbedaan layaknya berbagai macam Negara yang ada di bumi, tak khayal jika satu dengan yang lain itu berbeda.
Akan tetapi, bukan menjadi masalah yang harus kita perdebatkan antara satu dengan yang lainnya, karena sesungguhnya kita sendiri bisa saja memimpin Indonesia ini asalkan kita mengerti bagaimana seluk-beluk permasalahan dan menemukan solusi yang terbaik untuk negeri ini. Dan kita semua mampu untuk merealisasikann konsep-konsep tersebut.
Hal yang utama adalah sebuah jiwa kepemimpinan untuk memimpin Indonesia. Bagaimana kita mau untuk menemukan dan membentuk jiwa-jiwa kepemimpinan itu, pun  ketika kita telah menemukan jiwa tersebut, maka mulailah dengan membentuk dari diri sendiri. Karena seorang pemimpin itu tidak akan dapat memimpin Indonesia, jika dirinya pun tak pelak dia kuasai. Begitulah yang dialami para pemimpin Indonesia kini. Ingin memimpin sebuah Negara Indonesia, akan tetapi didalam memimpin diri sendiri saja masih belum sanggup mengarahkannya menuju arah yang lebih baik.
Jika pada suatu saat kita sudah dapat memimpin diri kita sendiri dengan sangat baik, maka kewajiban kita yang utama ialah memimpin sekitar kita, dimulai dari yang terkecil dahulu, keluarga, teman, lingkungan sekitar, lalu kalau kita mampu, maka pimpinlah masyarakat kita menuju arah yang lebih baik, sebagaimana kita memimpin diri kita yang telah baik tersebut.
Bahwa banyak pemimpin kita yang nyatanya hanya bisa ber-retorika tanpa aksi  yang nyata bahkan hal tersebut sudah menjadi fenomena umum; dari Presiden turun sampai ke lurah. Dan hal ini tidak hanya terjadi di kita, tapi juga di Negara-negara lain pastinya. Tapi bukan masalah bagaimana dengan kondisi Negara lain, kalau Negara kita sendiri pun tidak bisa kita arahkan menuju lebih baik.
“Kembali pada Indonesia, kapankah kita memiliki pemimpin bermartabat dan tulus  semacam Sonia Gandhi yg cukup puas karena telah mengalahkan partai fundamentalis BJP dan tidak berambisi memegang tampuk kekuasaan? Yang spirit utamanya hanya untuk mempersolid barisan nasional kebangsaan yang penuh toleransi pada semua rakyat dan mengakui realitas perbedaan? Yang cukup puas dengan melihat kekalahan partai ultranasional hindu -- yang antiplurasime dan ingin menegasikan peradaban selain Hindu?
Mungkin harapan ini terlalu muluk sekarang. Tapi, setidaknya ini bisa diawali dengan sikap awal yang tipikal dilakukan manajer sepakbola Eropa: mundurlah apabila merasa tidak mampu, apabila terlibat skital, apabila terlibat kasus kejahatan/kriminal. Tapi, mungkinkah?”
Mengutip sebuah dari artikel Rizal Syarih, bahwa ternyata bukan hanya kita yang berteriak-teriak sendiri tentang kepemimpinan di Indonesia saat ini, ternyata banyak suara-suara yang meneriakkan hal yang sama. “Adakah pemimpin di negeri ini?” mungkin itu juga yang sempat kita pikirkan bersama dalam benak hati kita setelah melihat kondisi bobroknya Indonesia saat ini. Punya pemimpin yang hanya pintar untuk “retorika” saja, tapi “NOL BESAR” untuk mengaplikasikan teori-teori yang telah mereka buat, atau dengan kata lain sebutlah saja NATO(No Action, Talk Only). Akan lebih baik jika para pemimpin tersebut dapat merealisasikan apa yang telah mereka katakan, atau jika kita pernah melihat sebuah tanyangan iklan yang mengatakan seperti ini “talk less, do more”. Mungkin seperti itulah pemimpin yang seharusnya, tidak banyak retorika, tapi aksi tetap nyata terasa.
Beberapa tahun mendatang bangsa ini akan menagih pemimpinnya. Janji, citra kearifan, dan isu perubahan tengah dan akan terus dinanti oleh rakyat Indonesia. Adakah sebuah kebajikan yang ditawarkan sang pemimpin yang kemudian benar-benar menjadi nyata atau sekadar kantong angin belaka? Akankah bangsa ini benar-benar berubah menjadi lebih maju, lebih adil, lebih aman, lebih sejahtera, dan lebih tercerahkan atau sebaliknya? Adakah para pejabat publik hasil Pemilu (Pemilihan Umum) yang melelahkan itu benar-benar berkhidmat untuk rakyatnya atau untuk diri sendiri dan kroni-kroninya? Akankah Indonesia menjadi negeri yang berdaulat dan bermartabat di hadapan dunia internasional? Adakah para elite di Senayan pun akan benar-benar memperjuangkan nasib kita semua atau mereka terus-terusan akan sibuk saling tukar-menukar cendara mata politik dan berburu sebuah kursi nyaman dan  kekuasaan politik semata? Berbagai tagihan politik akan bermunculan dari setiap kalangan masyarakat karena pada hakikatnya kekuasaan yang diberikan rakyat itu adalah sebuah hutang dan amanat yang harus dibayar. Dan bukan  sebuah barang gratis.
Indonesia ke depan sungguh mendambakan bahkan memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas dan cakap karena hal itu bernilai normatif, tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup mengkhidmatkan diri sebesar-besarnya untuk kepentingan bersama bangsa Indonesia. Bukanlah pemimpin yang pintar beretorika dan gemar bersiasat saja. Apalagi hanya pemimpin pemburu kekuasaan dengan mengorbankan etika dan hajat hidup publik. Bukan pula pemimpin yang keras kepala dan tak tahu harus berbuat apa setelah duduk dikursi laksana sang maharaja?
Bangsa ini sudah terlalu lelah dengan ulah elite dan pemimpin yang hanya gemar membuat gaduh dan membingungkan rakyat, juga pemimpin yang tak memberikan harapan. Jika mereka berkata memperjuangkan demokrasi, maka berdemokrasilah secara tulus dan nyata sebagaimana layaknya sebuah demokrasi sejati. Jika mereka mengatakan demi bangsa dan negara, berkhidmatlah untuk bangsa dan negara secara pamrih layakknya pejuang negarawan. Jika mereka berjanji, maka penuhilah sebagai amanah dan hutang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan sang pencipta. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah syayyi'ah(contoh yang buruk).
Setelah melihat secara keseluruhan, kita pasti dapat memiliki gambaran akan pemimpin seperti apa nantinya untuk negera Indonesia ini, bagaimana ciri-ciri dari calon pemimpin yang ideal tersebut.
Jika kita sebutkan syarat-syarat seorang pemimpin ideal mungkin di antaranya adalah: Pertama, adil dengan kebijakan yang telah ia buat. Kedua, memiliki pandangan yang bisa mengantar kepada keputusan dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum yang bisa dirasakan bersama. Ketiga, sehat secara jasmani & rohani, berupa pendengaran, penglihatan, lisan dan jiwanya, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan yang ada dipundaknya. Keempat, normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan beraksi. Kelima, bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara. Keenam, keberanian, karena mulai dari keberanian untuk menjadi seorang pemimpinlah dia dijadika seorang pemimpin. Dan dengan keberaniann dia gunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh-musuhnya.
Jika kita tambahkan nilai lebih dari seorang pemimpin, maka Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang ideal. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan rakyatnya.
Maka dari itu, kata terakhir yang bisa saya sampaikan untuk kita semua calon pemimpin, “Luruskan kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan penghindaran diri dari tanggung jawab ketika gagal. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang dan bertanggung jawab. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, tidak penuh topeng dan muslihat busuk. Di situlah citra dan martabat pemimpin sejati. Pemimpin sebagai negarawan!”


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar